Renungan (Syukur Itu Nikmat)

Allhamdulillah, siang ini, gerimis kembali menyapa. Dingin? So pasti! Musim memang lagi dingin, di tambah lagi gerimis, duh Ya Rabb, jadi dua kali lipat dinginnya. Dari pada gak ada kerjaan, akhirnya saya putuskan untuk melihat FB di lap top. (hiks…kebiasaan!)

Setelah buka beranda, satu persatu saya telusuri teman-teman yang sudah membuat status dengan rajinnya. Beragam status tertulis disana. Dan, entah mengapa saya tertarik dengan salah status milik temanku ini. Status itu berisikan sebuah keluhan. Akhirnya saya tertarik untuk membuka keseluruhan FBnya, dan ternyata yang tertulispun keluhan-keluhan. Dan yang menjadi bahan topic keluhanpun tak lain dan tak bukan, adalah soal cinta. Dalam hati saya mengumpat,”Cinta! Cinta! Cinta. Apa gak ada topic lain selain cinta” 

Sobat, kita memang tidak menafikan, hidup itu memang perlukan cinta. Dan hampa sebuah kehidupan tanpa adanya cinta. Tak kira cinta pada apa, siapa, atau cinta tentang apa. Idealnya, hidup memang perlukan cinta. Apalagi cinta pada Sang Khaliq kita, yang seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi kita semua, untuk meyakini dan mencintai pastinya. 

Namun, yang menjadi permasalahannya sekarang adalah, seberapa pentingkah kata-kata cinta itu bagi kita? Haruskah kata-kata cinta itu selalu di gembar-gemborkan seperti status milik teman saya itu? 

Kembali pada topic. Saya jadi bertanya pada diri sendiri. “Mengapa saya mengumpat dia yang sedang di rundung duka? Bukankah seharusnya saya memberi solusi jika bisa? Bukankah dalam agama kita di anjurkan untuk saling nasehat-menasehati?” Lalu, tiba-tiba saya jadi merasa bersalah pada temanku itu. Dalam hati saya bertanya, Apakah saya sudah menjadi orang yang tidak mudah mengeluh? Atau setidaknya sudah mensyukuri Nikmat Allah yang lainnya? Hiks,…. saya jadi malu sendiri

Tak lama kemudian, saya membaca buku faforit saya. Dimana buku itu seperti buku wajib bagi saya untuk dibaca setiap harinya, walau hanya satu lembar. Disana, saya temukan tulisan yang membuat saya jadi merenung. Dalam buku tersebut, tertulis seperti ini:

Perhatikan dan renungkan apa yang ada di sekitarmu!
** Bukankah di rumah-rumah sakit masih terdapat sekian ranjang putih yang diatasnya terbaring ribuan pasien?
** Bukankah di penjara masih terdapat ribuan manusia yang hidup di balik jeruji besi, yang nista dan kehilangan nikmatnya kehidupan di alam bebas ini?
** Bukankah di berbagai rumah sakit jiwa masih terdapat manusia yang kehilangan akal sehatnya, lenyap kesadarannya, dan kemudian menjadi gila?
** Bukankah di sekitarmu masih banyak fakir miskin yang tinggal di gubuk-gubuk kardus dan kesulitan walau hanya untuk mendapatkan sesuap nasi?
** Bukankah di luar sana, masih banyak orang-orang yang kehilangan sanak, saudara, bahkan hartanya karena musibah yang mendera? 
** Bukankah di sekitarmu juga masih ada sekian orang yang cacat, seperti tuna netra, tuna wisma, tuna wicara, tuna rungu, dan kehilangan sebagian anggota badannya? Bukan hanya itu, mereka juga terkena kangker ganas yang membunuh? 

Lalu, lihatlah dirimu: Engkau masih dalam keadaan sehat sejahtera, aman, tentram, dan damai. Engkau masih bisa kenyang dengan nasi panas yang setiap harinya tersedia? Engkau masih bisa melihat, merasa, dan berjalan dengan sempurna? Oleh karena itu, bersyukurlah pada Allah atas segala nikmatNya

Dari situ, kembali dada saya mulai bergemuruh. Pikiran terbawa pada mereka-mereka yang terkena musibah, seperti gempa dan lain sebagianya. Melihat bagaimana kesengsaraaan mereka, kesedihan yang terpantul dari rautnya, dan juga lapar yang mendera perut mereka. Melihat bayi mungil yang harus berpisah dengan orang tuanya, dan belum tahu masa depannya kelak. Melihat bagaimana kumal tubuh mereka, dan melihat air mata kesedihan mereka saat harus kehilangan harta, anak, dan segala-galanya. Saya benar- benar takut membayangkan itu semua, yang seketika seolah disugukan di depan mata.

Rupanya buku itu telah menyadarkan hati saya, yang selama ini masih kurang mensyukuri nikmatNya. Masih suka mengeluh dengan nasi yang hanya berlauk sayur, atau ikan. Masih mengeluh karena gaji tiap bulan tak mencukupi untuk keperluan, yang kadang salah membelanjakan. Masih mengeluhkan majikan, walau semua keperluan telah di sediakan, termasuk bermain-main computer dengan bebas. Sementara di luar sana, penyiksaan terhadap kawan seperjuangan kian merajalela. Masih mengeluh dengan berbagai masalah yang terkadang sendiri yang membuat masalah itu berlarutan. Duh, Ya Rabb, semoga masih ada ampunan buat saya.

Kawan,….jangan hanya karena masalah cinta, lalu kita selalu mengeluh. Merasa bahwa allah tak lagi menyangi kita. Bukankah di dunia ini kita tak hanya memikirkan cinta? Bukankah masih banyak Nikmat Allah yang bisa kita menikmati, selain dari kata cinta? Allah mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui apakah hambanya itu benar-benar beriman padanya, atau tidak. Dan ingat kawan, terkadang pula Allah menguji hambanya dengan nikmat yang melimpah. Maka dari itu kawan, mari kita mulai intropeksi diri, jangan kita selalu mengeluh, jangan pula kita kufur akan nikmatNya. 

. Mari kita selalu mensyukuri apapun bentuk nikmat itu. Jika kita tengah dilanda penyakit, maka berobat, lalu optimislah, kesembuhan pasti datang setelah tiba masanya. Dan apabila kita tengah di rundung duka, maka, banyak-banyaklah berdoa padanya, memohon pada Zat yang maha Agung, agar di berikan jalan keluar serta kesabaran dalam menghadapi cobaan tersebut. 

Mari, mari kawan, sama-sama kita mulakan rasa syukur itu dari sekarang juga. Renungkanlah nikmat yang telah Allah anugerahkan pada kita. Jika perlu, ambillah kalkulator, lalu, hitunglah semua nikmat yang Allah telah anugerahkan pada kita, yakni, kita takkan mampu untuk menghitung sedikitnya, apalagi sampai keseluruhannya. Maka, Maha benar Allah dengan segala firmannya, yaitu dalam kitab suci Alqur’an, surat Ar-Rahman, sering kita baca, “ fabi ayyi alaa irrobkumma tudziban” maka, nikmat tuhan kamu manakah yang kamu sembunyikan. 

Mampukah kita menjawabnya kawan?

0 komentar:

Posting Komentar

    by ujank_slanker

Follower

Video Gallery